Beberapa hari terakhir, kolom komentar FB saya mendadak diserang oleh akun-akun tuyul yang kofar kafir soal Ahok. Beberapa sudah saya blokir, beberapa lagi saya biarkan sebagai mainan. Banyak juga yang inbox apakah saya muslim? Apakah saya tidak takut neraka karena mendukung? Dan seterusnya.
Hal ini menjadi menarik untuk saya tulis karena beberapa teman pembaca yang juga ikut bertanya, bolehkah memilih Ahok sebagai Gubernur? Padahal dia non muslim.
Dari banyak komentar, yang paling sering dibagikan adalah surat Al-maidah ayat 51. Tentang larangan memilih pemimpin non muslim. Berikut terjemahannya yang sering nyepam di kolom komentar:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi ‘awliya’ mu; sebagian mereka adalah ‘awliya’ bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi ‘awliya’, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Kata awliya inilah yang kemudian ditafsirkan sebagai pemimpin, dalam konteks negara demokrasi posisinya dianggap pemimpin daerah seperti bupati, walikota dan Gubernur. Atau bisa juga anggota dewan, menteri dan Presiden.
Menurut tafsir Ibnu Katsir, ayat ini turun karena ada dua pemuda muslim yang setelah perang Uhud selesai mereka berniat untuk mencari perlindungan ke Yahudi dan Nasrani. Inilah yang kemudian turun ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi ‘awliya’ kalian (Al-Maidah: 51).
Awliya dalam konteks jaman dulu adalah penguasa wilayah dengan segala aturan, hukum dan perlindungannya. Sistemnya masih kabilah. Sekarang sistemnya sudah demokrasi, ada hukumnya, polisi, jaksa dan undang-undang. Pemimpin hanya jadi pelaksana amanat undang-undang, bukan lagi melindungi warga dari pelecehan ummat Yahudi.
Jadi sekarang itu kalau misalnya perempuan Jakarta dilecehkan oleh lelaki Bekasi, masalah tersebut dapat diselesaikan dengan hukum Indonesia. Gubernur Jakarta tidak perlu turun tangan menghukum si lelaki Bekasi atau menemui Bupatinya.
Sementara dulu belum ada polisi, jaksa dan hukum. Misal ada keluarga Bani Kinanah dilecehkan oleh orang Yahudi, maka walinya akan turun tangan untuk melindungi dan memberi hukuman.
Dulu ummat muslim dilarang untuk mencari perlindungan pada Yahudi dan Nasrani karena mereka secara otomatis akan meninggalkan orang islam, lalu bersekutu dan beraliansi dengan mereka yang statusnya adalah musuh.
Sebab dulu masih jaman perang, merebut wilayah. Jadi kalau ummat muslim kemudian memilih wali atau mencari perlindungan pada kelompok Yahudi dan Nasrani, mereka bisa membuka kelemahan untuk kemudian menyerang kelompok muslim.
Pada tahun 2016 seperti sekarang ini sudah tidak lagi. Kita mau pilih Ahok sebagai Gubernur Jakarta misalnya, orang Jakarta tak perlu takut Ahok akan mengambil alih Jakarta dan menjadikannya sebagai bagian dari wilayah Belitung Timur. Apalagi soal ketakutan karena Ahok matanya sipit, jadi takut Jakarta jadi ibu kota China, itu jauh sekali. Kalau tak percaya, coba cek peta, lihat Jakarta dan China seberapa jauh?
Ketakutan bahwa Ahok akan membahayakan aqidah dan keimanan warga Jakarta juga sangat tidak beralasan. Toh sejak 2014 ini Jakarta sudah dipimpin Ahok. Bagaimana rasanya? Apa ada waraga yang dilarang beribadah? Apa ada aqidah dan keimanan yang diganggu?
Tugas Gubernur membangun ifrastruktur, memberi pelayanan pada masyarakat, dan menjalankan amanat undang-undang. Soal shalat, zakat, haji dan sebagainya itu hak masing-masing warga yang tidak bisa diintervensi oleh seorang Gubernur. Berbeda dengan sistem kabilah di jaman dulu, jika seseorang menjadi bagian dari kaum Yahudi, maka otomatis mereka akan ikut semua aturan dan hukumnya, termasuk agamanya.
Akhirnya, konteks ‘awliya’ dalam sistem kabilah dan Gubernur di sistem demokrasi sangat jauh berbeda. Kalau kemudian ayat 51 dalam surat Al-maidah disimpulkan haram atau berdosa memilih Ahok, jadi tidak relevan sama sekali.
‘Haram’ memilih Anies dan Agus
Sengaja saya beri tanda kutip pada kata haram karena maksud sesungguhnya adalah tidak boleh, tanpa pernyataan haram.
Sebuah hadits Abu Huroiroh di dalam sohih bukhori disebutkan: ida wusidal amru ila ghoiri ahlihi, fantadirussa’ah. Artinya: jika sebuah urusan (tugas) diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Kehancuran di sini adalah nilai negatif dan harus kita hindari. Contoh saja yang dekat dengan kita, ketua BPK adalah orang partai. Maka banyak stempelnya jadi ngawur dan seolah bisa dipesan, politis. Banyak pimpinan daerah yang status laporan keuangannya “wajar tanpa pengecualian” malah mendekam di penjara. Ahok yang membeli tanah di RS Sumberwaras, dituduh korupsi karena ada kerugian negara. Padahal aslinya BPK salah menentukan posisi tanah, menghitung tanah dengan NJOP jalan kyai tapah, padahal menurut BPN ada di jalan tomang utara. NJOP nyapun jelas berbeda.
Atau saat sekelompok orang dipercayai sebagai ulama, kemudian membuat fatwa haram memilih Jokowi JK pada Pilpres 2014 lalu. Padahal Jokowi dan JK adalah orang muslim dan kita sedang hidup di negara Indonesia dengan aturan UUD 1945.
Mereka-mereka yang bukan ahli ini salah menempati posisi. Mengaku ulama tapi sikapnya sangat politis. BPK tapi menyimpulka posisi tanah tanpa bertanya ke BPN, dan seterusnya.
Nah, orang-orang yang bukan ahli ini seharusnya tidak boleh dipilih dan diberi kepercayaan. Coba saya tanya yang sederhana, misal ada orang yang buka praktek padahal belum lulus sebagai dokter, apakah anda mau mendatanginya saat sakit? Saya sih NO. Atau saat ada restoran yang kokinya tidak bisa masak, apakah anda akan makan di sana? Tentu saja tidak.
Dalam konteks Gubernur Jakarta, seharusnya kita memilih orang yang sudah berpengalaman dan sukses memimpin daerah. Contoh seperti 2012 lalu, kita memilih Jokowi karena beliau adalah Walikota sukses di Solo. Memberikan banyak perubahan dan kebijakan pro rakyat. Pada periode keduanya, Jokowi mendapat 91% suara tanpa kampanye.
Kenapa Jakarta harus dipimpin oleh orang berpengalaman dan pernah sukses memimpin daerah? Sebab Jakarta adalah ibu kota, representasi Indonesia. Jadi kalau Jakarta dipimpin oleh orang yang belum pengalaman, ini jadi mirip calon dokter yang belum lulus tapi sudah mau praktek.
Berhubung calon Gubernur Jakarta adalah Ahok, Anies dan Agus, mari kita telaah.
Anies adalah mantan Menteri Pendidikan kabinet kerja. Beliau dipecat sebagai menteri, bukan mengundurkan diri. Alasan pastinya tidak ada. Namun belakangan ada berita bahwa Sri Mulyani Menkeu menemukan kelebihan anggaran sebanyak 23 triliun di kementerian pendidikan.
Memilih Anies sebagai Gubernur DKI bisa disimpulkan menyerahkan urusan pada yang bukan ahlinya. Anies jelas dipecat. Pengalaman memimpin daerah nol. Bahwa beliau pernah jadi Menteri, lingkupnya masih berbeda dengan memimpin daerah.
Berpasangan dengan Sandiaga Uno pengusaha, pun tanpa pengalaman memimpin daerah.
Kemudian Agus. Mayor TNI yang mengundurkan diri karena ingin maju sebagai calon Gubernur Jakarta. Sekali lagi, mengundurkan diri, beda dengan dipecat. Ini lebih oke. Meski pengalamannya lebih nol dari Anies sebab hanya berkutat di TNI. Kalaupun pernah jadi pimpinan pasukan, berbeda dengan memimpin daerah yang mengurus anggaran dan membuat kebijakan.
Berpasangan dengan Sylviana, berpengalaman sebagai Walikota Jakarta Pusat. Pasangan ini lebih masuk akal dibanding Anies Sandiaga. Karena salah satunya ada yang berpengalaman. Tapi tetap saja memilih mereka, menurut saya menyerahkan urusan pada yang bukan ahlinya, karena Gubernurnya nanti Agus, bukan Sylviana.
Lalu yang terakhir adalah Ahok Djarot. Ahok pernah jadi bupati Belitung Timur, Wakil Gubernur Jakarta dan Gubernur Jakarta. Semetara Djarot pernah menjadi Walikota Blitar dan Wakil Gubernur Jakarta. Keduanya bisa dibilang ahlinya. Sebab pernah memimpin daerah dan bahkan sukses memimpin Jakarta selama 2 tahun terakhir.
Dengan 3 pasang calon seperti itu, seharusnya kita memilih Ahok Djarot. Karena dua pasang calon lainnya tidak berpengalaman. Apalagi Anies, sudah tidak berpengalaman, dipecat pula.
Semua tak berpengalaman awalnya
Ada yang bilang begini, “Jokowi dulu maju sebagai Walikota juga ga punya pengalaman.”
Kalau harus saya jawab “ya itu kan Walikota, ini Gubernur, ibu kota Indonesia pula, masa mau kita serahkan pada yang baru mau cari pengalaman? Kalau mau cari pengalaman ya sana di daerah!”
Jangankan untuk urusan Gubernur, dalam lowongan kerja perusahaan yang asetnya hanya 0.1% dari APBD Jakarta pun lebih memilih yang berpengalaman. Masa ya untuk Jakarta ini mau kita serahkan sama yang katakanlah “fresh graduate” atau sama orang yang baru saja “drop out?” Seng genah ae.
Begitulah kura-kura.