screenshot_2016-10-12-13-53-12-1
Panasnya ILC semalam membuat Yusuf Mansur ikut gagal paham. Saya pernah dulu menegur Yusuf Mansur terkait bahasa arab adalah bahasa surga yang disampaikannya di ruang publik sehingga membuat kehebohan, karena salah menempatkan sesuatu. Sesuatu yang benar belum tentu benar jika disampaikan di tempat umum, mengingat kapasitas masing-masing kita berbeda.
Akhir dari kehebohan tersebut, Yusuf Mansur menghubungi saya via WA. Kami akhirnya sepakat mengakhiri kehebohan tersebut.
Hari ini kasusnya lain. Yusuf Mansur mengomentari Nusron Wahid dengan sangay sedih sambil bercucuran air mata.
“Bismillahirrohmanirohim, kepada adik-adik saya, anak-anak Indonesia, para remaja. Jangan ya, jangan ditiru melotot-melotot ke ulama. Jangan, jangan ditiru. Sesalah-salahnya ulama itu sebenar-benarnya kita. Jamgan ditiru yang suka maki-maki orang, jangan ditiru, yang suka bilang orang bodoh, goblok, tolol, jangan ditiru ya nak.”
Gara-gara pernyataan Yusuf Mansur, saya baru sadar bahwa Nusron Wahid memang selalu melotot. Namun bukannya saya terenyuh melihat tangis Yusuf Mansur, malah tertawa ngakak. Ini mirip seperti temanmu yang mengajak jalan-jalan ke tempat wisata menarik, dikiranya mau dibayarin, tapi ternyata malah disuruh bayar sendiri. Uasem. Salah paham.
Nah Yusuf Mansur ini sama seperti yang disampaikan Nusron Wahid. Kita ribut itu kalau tidak salah paham berarti pahamnya salah. Hahaha
Nusron Wahid ini memang memiliki mata lebar. Berbeda dengan Ahok atau Jokowi yang agak sipit. Nusron ini mirip Deddy Corbuzier atau Mario Teguh, matanya belo. Jadi senyantai-nyantainya Nusron, tetap akan terlihat lebih melotot dibanding melototnya Jokowi atau Ahok.
Maka wajar kalau kemudian Nusron menanggapi santai namun nyelekit.
“Tapi ya memang beginilah saya dilahirkan dengan wajah seperti ini. Kalau ngomong kelihatan melotot. Tidak ganteng seperti antum. Ya inilah saya memang marah melihat keadaan NKRI yang terganggu dengan pemahaman ayat yang sempit. Sebagaimana kyai dan guru-guru saya juga marah. Semoga antum mafhum. Sebagian kyai dan guru-gutu saya juga marah Indonesia diganggu seperti ini,” kata Nusron Wahid.
Entah apakah Yusut Mansur juga termasuk fakir kuota yang tidak pernah melihat Nusron Wahid menyampaikan opini, atau ini memang cara Yusuf Mansur mengalihkan materi yang sebenarnya?
Sebab satu Indonesia tau, bahwa ucapan Nusron Wahid sangat-sangat telak membantah semua pendapat dan orang-orang yang mengaku ulama, serta mengharamkan Ahok menjadi Gubernur karena alasan Almaidah 51. Sangat telak. Tidak ada yang bisa menjawab Nusron sebab memang berdasarkan ilmu yang sesuai dan fakta sejarah.
Saya jujur ragu Yusuf Mansur baru semalam melihat Nusron Wahid menyampaikan sesuatu. Lalu sekarang tujuan Yusuf Mansur apa?
Kalau Yusuf Mansur meminta Nusron untuk tidak arogan, sebenarnya kebalik. Nusron bersikap arogan karena memang ulamanya yang bikin muak dan arogan. Memgancam polisi dan pengadilan rakyat jika tidak ditindak secara adil, maksudnya mungkin sampai Ahok dipenjara. Coba Yusuf Mansur mau mikir, siapa yang arogan?
Saya sendiri muak dengan orang yang menyebut dirinya ulama atau ustad. Sangat muak. Mereka-mereka yang hilir mudik di televisi itu hampir semuanya memiliki tarif profesional selayaknya artis. Jadi sangat sulit disebut ustad apalagi ulama dalam arti yang sebenarnya. Coba tanya Yusuf Mansur, berapa tarif minimal perjamnya? Apa fasilitas yang perlu disediakan? Coba tanya, saya sedikit tau tapi tak mau menyebutnya karena malas nanti dianggap fitnah. Kalau tak mau tanya, coba undang Yusuf Mansur ke daerahmu.
Dengan kenyataan “ustad profesional” seperti itu kemudian Yusuf Mansur mau bicara soal islam, ulama dan mewek melihat melototnya Nusron Wahid?
Ulama MUI? kalian pikir mereka memikirkan ummat Islam? Coba anda punya produk makanan dan minta sertifikat halal sama mereka, kalau tak ada uangnya mana bisa mereka halalkan? Lalu yang seperti itu mau disebut ulama yang sesalah-salahnya ulama itu sebenar-benarnya kita? Omong kosong.
Kyai-kyai yang saya kenal di pesantren, sampai mufassir Quraish Sihab pun tidak pernah mau melabeli dirinya sendiri ulama. Bahkan banyak kyai yang malu dipanggil kyai. Mereka lebih nyaman dipanggi abah.
Nah sampai di sini saya berpikir tentang dua hal. Pertama, Yusuf Mansur salah paham tentang melototnya Nusron Wahid. Bahwa kemudian argumennya pasti tidak bisa dibantah itu soal lain, dan semoga Yusuf Mansur menangis bukan karena orang yang mengaku ulama itu ternyata ilmunya cukup cetek. Kedua, label dan sebutan ulama saya pikir sudah seharusnya dikoreksi. Agar orang-orang seperti Yusuf Mansur ini tidak salah paham dan baper. Mentang-mentang pengurus MUI jadi otomatis ulama. Wah ini salah kaprah namanya.
Lagipula MUI ini memang aneh. Mereka berkumpul membetuk LSM dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Tapi karena nama LSM nya ada kata “ulama” maka mereka tinggal pakai daster putih dan sorban supaya kemudian disebut ulama.
Berhubung ini LSM, mungkin sebaiknya penggunaan kata ulama itu dikoreksi dengan nama lain. Gus Mus sebelumnya juga kebingungan.
“MUI itu sebenarnya makhluk apa? Enggak pernah dijelaskan. Ujuk-ujuk (tiba-tiba) dijadikan lembaga fatwa, aneh sekali. Itu MUI makhluk apa? Instansi pemerintah? Ormas? Orsospol? Lembaga pemerintahankah? Tidak jelas, kan? Tapi ada anggaran APBN. Ini jadi bingungi (membingungkan).” kata Gus Mus, 30 Maret 2015.
Nah, agar masyarakat Indonesia paham, serta orang seperti Yusuf Mansur ini tidak baper karena ulamanya ‘dipelototi’ Nusro Wahid, saya pikir ini saatnya MUI berganti nama. Biarkan satu Indonesia tau bahwa mereka hanyalah LSM dan orang di dalamnya bukan otomatis ulama.
Mari jadikan MUI seperti NU atau Nahdatul Ulama, yang hanya menjadi organisasi namun tidak otomatis menggelari diri mereka dengan ulama. Tidak sok-soan keluarkan fatwa halal haram dan seterusnya.
Jangan sampai kebenaran tentang agama Islam dimonopoli oleh LSM bernama MUI. Negara ini berdiri, salah satunya berkat perjuangan NU dan Muhammadiyah. Mereka ikuy berkontribusi memerdekakan negara ini. Jika dua ormas terbesar di Indonesia ini tidak sok-soan dalam bernegara, apa hak MUI? LSM yang baru berdiri setelah Indonesia 30 tahun merdeka.
Begitulah kura-kura.
sumber : seword.com