Bahaya! Tim Agus Sylviana Sebut SARA Sebagai Perekat Kebhinekaan | Edaaan!

Bahaya! Tim Agus Sylviana Sebut SARA Sebagai Perekat Kebhinekaan

screenshot_2016-10-15-16-24-22-1
Dari 3 pasangan calon yang akan bertarung di Pilgub DKI, harus diakui yang paling gencar menemui tokoh-tokoh Islam adalah Agus Sylviana. Sebenarnya wajar saja, sebab pasangan ini memang didukung oleh partai-partai Islam, kecuali Demokrat.
PKB dan PPP yang secara tidak langsung menjadi representasi NU di partai politik, sementara Muhammadiyah di PAN. Keduanya merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia.
Tapi ada satu hal yang sangat mengganjal dan kemudian timbul tanda tanya. 3 hari yang lalu wakil ketua tim pemenangan Agus Sylviana, Abdul Aziz. Di acara Mata Najwa, setidaknya dua kali Abdul Aziz menekankan bahwa isu SARA adalah perekat kebhinekaan.
Di awal segmen, Najwa menanyakan tentang isu SARA, hal ini terkait dengan pernyataan Ahok di pulau seribu, dan kemudian sudah meminta maaf atas kejadian tersebut.
“Saya mau ke Pak Abdul Aziz, sudah minta maaf, jadi urusan sudah selesai atau bagaimana?” Tanya Najwa.
“Saya ingin mendudukan persoalannya dulu bahwa bagi kami, bagi mas Agus, NKRI itu harga mati. Mungkin dalam beberapa caption bia terlihat Mas Agus tampil dengan merah putih di tangannya. Dan kami memandang masalah yang disebut SARA itu adalah sesungguhnya lem perekat dari NKRI itu.
Artinya seperti juga adanya lautan yang menyatukan pulau-pulau, maka SARA itu adalah perekat dari  keragaman kebhinekaan kita sebagai bangsa. Sehingga ini harus dijaga dengan baik. Dan penting bagi kita semua untuk tetap menjaga kondisi kebhinekaan itu dengan SARA sebagai perekatnya,” jawab Abdul Aziz panjang lebar.
Setelah itu Yudha Permana dari tim Anies juga ikut berkomentar. Intinya bila ada proses hukum yang sudah berjalan, silahkan diikuti saja.
Memanggapi hal ini, dewan pengarah tim sukses Ahok Djarot, Gus Choi menanggapi bahwa orang yang meminta maaf itu mulia. Sementara yang memberi maaf lebih mulia. Tapi jika memang ingin tetap dilanjutkan proses hukum, beliau mempersilahkan.
Di segmen pertama ini, Gus Choi tak sempat menanggapi soal SARA sebagai perekat kebhinekaan dan perekat bangsa. Sebab pertanyaannya sangat sederhana, bagaimana tanggapan timses masing-masing calon terkait permintaan maaf Ahok.
Namun di semen kedua, Najwa kembali bertanya soal isu SARA yang menjadi peluru yang mudah dimain-mainkan, untuk menaikkan popularitas atau menjatuhkan lawan.
“Memastikan bahwa akan betul-betul dijalankan oleh tim sukses, apalagi kalau ketua tim suksesnya tadi sudah bilang seperti itu ya Mas Aziz?” Tanya Najwa.
“Konteksnya berbeda, kalau yang tadi diungkap dalam caption sebelumnya, yang jelas koordinasi kita cukup ketat untuk memastikan bahwa komitmen yang kita miliki untuk tidak melakukan hal-hal seperti itu terus kita koordinasikan dengan baik. Dan tentu saja, bukan saja di dalam tim pemenangan, tapi juga koordinasi internal partai masing-masing itu kita harus lakukan. Dan itulah yang berjalan hari ini.
Semua harus dipastikan, dan semua sama memandangnya bahwa isu SARA justru menjadi perekat kebhinekaan. Bukan sesuatu yang kemudian harus dikutak kutik jadi pemecah kebhinekaan. Itu yang sebenarnya kita jaga selama ini,” jelas Abdul Aziz panjang kali lebar lagi.
Di sinilah kemudian Gus Choi bereaksi dan agak keberatan dengan istilah SARA sebagai lem perekat kebhinekaan yang harus dijaga.
“Bagaimana isu SARA bisa memperekat? Indonesia memang terdiri dari suku, agama dan segala macem. Tapi itu bukan dijadikan isu untuk memenangkan dalam kompetisi. Itu adalah kekayaan kita, tapi ketika kita mau berkompetisi yang menjadi standar kita adalah sistem kita demokrasi, standar kita adalah Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, undang-undang dasar, NKRI dan segala macem. Inilah sebetulnya yang menjadi pijakan kita,” sanggah Gus Choi.
Selama beberapa hari ini saya berpikir keras. Sambil makan kadang kepikiran, bagaimana caranya isu SARA merupakan lem perekat? Diibaratkan lautan yang menyatukan pulau-pulau.

Dalam contoh yang lebih masuk akal, mungkin akan jadi seperti cemburu sebagai tanda cinta dan bisa tambah mempererat hubungan. Atau perbedaan pendapat sebagai tanda kebebasan berpikir untuk mempererat persahabatan.
Saya tidak tau apakah ada analogi yang lebih pas dari ini? Pembaca seword.com bisa bantu saya untuk berikan contoh lain. Tapi sepertinya analogi apapun akan searah dengan itu. Hal-hal yang negatif dijadikan alasan untuk mencapai titik positif.
Kalau begini maka maksud isu SARA jadi perekat antar masyarakat adalah sebagai berikut: yang muslim dekat dengan muslim. Orang Jawa loyal dengan yang Jawa. Begitu seterusnya. Persis seperti cemburu, dalam contoh positif, itu akan merekatkan dua orang dalam satu cinta yang sama kemudian menjauhi serta menjaga jarak pihak lain yang telah membuat pasangan cemburu. Bukankah begitu?
Dalam konteks Pilgub DKI, berarti muslim pilih muslim. Jawa pilih Jawa. Kemudian menjauhi pihak lain yang tidak dalam ikatan yang sama?
Tapi kalau mau tetap ikut analogi laut seperti yang disampaikan oleh Abdul Aziz, gambarannya akan sama seperti peta Indonesia. Pulau-pulau dan diantaranya adalah lautan. Menyatu. SARA adalah lautan. Memang jadi ‘perekat’ jika dilihat dari peta. Tapi apakah bisa menghubungkan antar pulau? Tidak bisa. Bahwa kemudian bisa dibuat jembatan atau transportasi sebagai penghubung, itu hal lain. Pada intinya SARA itu sendiri tidak bisa menyatukan jika analoginya adalah laut. Kita akan berkelompok dan berkumpul sesuai ‘pulau’ masing-masing. Dan analogi ini bagi saya jauh lebih buruk dari yang saya contohkan sebelumnya. Karena menjaga SARA sebagai perekat dapat diartikan sebagai menjaga agar tetap ada pemisah antar pulau-pulau.
Jika begini, maka dapat disimpulkan bahwa Agus Sylviana mengandalkan isu SARA. Menjadi masuk akal kalau kemudian istri Agus tiba-tiba memposting foto dengan caption:
“Keluarga Besar Pohan (saya keturunan Pohan Simanjuntak nomor 16) Horas! horas! Horas!#mybataknesefamily.”
Istrinya Agus memainkan isu suku. Apakah ini membantu atau berpengaruh? Pasti. Sebab suku Batak memiliki hubungan emosional sangat erat. Dalam pernikahan, mereka cenderung akan memilih sesama orang Batak dan satu marga. Bisa dibilang, solidaritas suku batak merupakan yang nomer 1 paling solid di Indonesia.
Dalam pemahaman saya, SARA tidak bisa sebagai perekat. SARA merupakan hal terlarang dalam berdemokrasi. Sebab acuannya adalah UU 45 yang telah kita sepakati bersama.
Tapi kalau mau berkeluarga, menikah, ya harus pakai SARA sebagai perekatnya, menyatukan. Orang Islam menikah dengan orang Islam. Kristen dengan kristen. Jika tanpa SARA, maka keduanya tidak bisa bersatu, tidak bisa merekat. Sebab undang-undang kita melarang pernikahan beda agama.
Sampai di sini, tim Agus Sylviana sebenarnya tidak siap berdemokrasi. Jadi bukan hanya visi misi yang tidak siap.
Bagi saya ini penting untuk dijelaskan kembali oleh Abdul Aziz, apa yang dimaksud perekat? Sebab saya lebih setuju dengan pendapat Gus Choi bahwa SARA harusnya dikubur dalam-dalam. Persoalan SARA sudah selesai dan kita tidak boleh memilih pemimpin karena alasan satu suku, seagama dan seterusnya di alam demokrasi.
Begitulah kura-kura.
Share on Google Plus

About Master Edan

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment